KASIH IBUKU TERGADAI
Oleh Zaima Hilmi
Oleh Zaima Hilmi
Siang ini terasa begitu panas.
Seakan mentari ingin membalaskan dendamnya karena kemarin hujan menyelimuti
desaku. Aku berjalan gontai menuju ke rumah. Bayangan sosok adikku sudah
membuntuti sejak aku keluar dari gerbang sekolah. Jika aku merasakan hal
seperti ini, sudah pasti adikku sedang merasa kesepian di rumah. Ikatan batin
di antara kami memang begitu kuat.
Setibaku di rumah, kutemui adikku
sedang menangis. Simbahpun juga tidak ada di rumah. Kugendong lembut adik
kecilku ini. Kutimang laksana aku ibunya. Kuajak dia ke kamar. Setelah aku
ganti pakaian, kutemani dia bermain congklak kesukaannya.
Kutatap dalam-dalam sosok adikku
ini. Senyumnya mengembang saat dia bisa bermain dengan congklak kesayangannya.
Mungkin di situlah dia merasakan sosok ibu berada di dekatnya. Hingga terpikirkan
masa laluku itu.
“Beteng…”
“Beteng… beteng…”
“Hore…” regu yang menang bersorak
sorai.
“Kamu kena, regumu jaga.”
Suara-suara riang anak kecil mulai
terdengar dari kejauhan. Aku yang sedang menyusuri jalan tanpa arahpun mulai
mendekat. Kulihat dari kejauhan, namun keceriaan mereka memaksaku untuk
mendekat.
“Rini, ayo sini ikut!” seseorang
mengajakku. Aku menggeleng.
“Ayo, jangan malu!” dia
meyakinkanku. Bujukannya membuatku tak bisa menolak lagi. Mungkin hanya dia
yang bisa membuatku tersenyum selain kepulangan ibu, keceriaan adikku, dan
pelukan simbah setiap malam.
Siang itu sangat menyenangkan. Di
saat itulah tak terpikirkan sedikitpun tentang ibu. Memang, hanya ajakan
bermain mereka, tawa adikku dan pelukan simbah yang membuatku lupa tentang ibu.
Selepasnya, bayangan ibu selalu berputar-putar di otakku.
Toet… toet…
Suara pedagang es keliling
memecahkan permainan kami. Pandangan semua anak tertuju pada sosok lelaki tua
yang setiap harinya selalu datang untuk anak-anak desa kami. Sudah kuhafal, dia
akan datang setiap siang melewati lapangan ini. Ia hafal anak-anak akan bermain
setiap harinya di sini. Naluri seorang pedagang memang akan muncul seiring
waktu.
Tak perlu komando dari kaptennya,
semua anak berlari secepatnya agar bisa dilayani cepat tanpa mengantri. Mereka
yang tidak membawa uang, berhamburan pulang. Aku hanya terpaku. Inginku membeli, tapi
aku tak punya uang. Tidak ada yang mau membagi esnya untukku. Aku berlari
secepat-cepatnya. Terpikir untuk meminta uang kepada ibu.
“Ibu, aku mau beli es.” aku
berteriak dari luar rumah.
“Ibu, aku minta uang seribu.”
“Ibu…” aku berteriak-teriak sambil
mencari ibu di setiap sudut rumah.
“Ibu…” tangiskupun pecah.
“Ibu…” tangisku semakin kencang. Aku
tersadar, ibu tidak ada di rumah. Ia berada di tempat lain. Ibuku menjadi TKW
di Arab Saudi. Ia hanya pulang setiap dua tahun sekali. Sosok wanita yang
selalu kurindu.
“Ibu…” aku berteriak
sekencang-kencangnya. Tak peduli apapun. Aku hanya ingin ibu pulang sekarang.
Aku ingin ibu memelukku sekarang. Aku ingin ibu ada di sini. Hayalanku membuat
tangis ini menjadi-jadi.
“Ada apa, nduk?” tiba-tiba seorang tetangga membelai lembut rambutku. Aku tak
menghiraukannya.
“Ya sudah, sekarang kamu diam. Simbah
dan adikmu lagi ke pasar.” katanya menenangkanku. Ia berlalu begitu saja. Aku
membiarkan ia pergi. Aku membiarkan semua hayalanku menjadi-jadi. Aku
membiarkan tangisku menjadi-jadi.
Memang sejak bapak meninggal, ibu
memutuskan untuk bekerja menjadi TKW. Saat itu aku masih berumur enam tahun.
Terlalu kecil. Terlalu dini untuk kehilangan sosok ibu. Aku sendiri. Bersama
simbah dan adikku, Ratih.. Semua pikiran ini meracuni otakku. Hingga aku
tertidur dengan sendirinya.
“Mbak, jangan melamun.” cubitan adikku
membuyarkan lamunan pilu ini.
“Maaf, maaf.”
“Mbak Rini kok nangis?”
“A…apa? Enggak kok. Ini cuma
kelilipan.” ujarku mengelak sambil mengusap pipiku yang basah. Lamunanku
membuatku menangis. Aku tak ingin adikku tahu tentang kisah piluku ini.
“Bener? Ya sudah, ayo main lagi.”
“Ayo! Tapi kamu jangan curang lagi
ya. Hehe…” ledekku. Adikku hanya mengangguk sambil cemberut. Aku tahu ia
ngambek. Di saat seperti inilah ia terlihat sangat lucu.
Mungkin aku lebih beruntung. Kasih
sayang ibu kudapat sepenuhnya selama enam tahun. Namun, tidak sama halnya
dengan adikku. Saat itu, adikku berumur satu tahun saat bapak meninggal.
Setelah itu ibu pergi menjadi TKW. Ia tak pernah mengerti apa-apa.
Sejak saat itu, keadaan memaksaku
untuk selalu berpikir dewasa. Aku berpikir untuk bisa menjadi seorang ibu bagi
adikku. Seorang anak berumur sepuluh tahun harus belajar menjadi seorang ibu.
Entah bagaimana caranya. Aku hanya tidak ingin adikku mengalami apa yang aku
alami. Hanya itu saja.
Hari semakin larut malam. Adik sudah
terlelap di dekat simbah. Namun, tidak denganku. Entah mengapa hari ini rasa
rindu meracuni otakku. Seakan menjadi provokator agar otak terus menyuruhku
memikirkan sosok ibu. Tak kuhiraukan ia, tapi ia terus menjadi. Hingga akhirnya
kupaksa mata ini untuk terpejam. Malam ini tidurku diselimuti rindu.
***
Angin pagi yang menelusup lewat
celah-celah dinding bambu kamarku mulai menggelitik. Namun, suara adzan subuh
yang paling jitu membangunkan tidurku. Simbah sudah sibuk dengan aktivitasnya
di dapur. Adik masih terlelap. Kutatap dalam wajah kecilnya. Air mataku
menetes. Kupecahkan rasa sedih ini. Segera kuberanjak bangun. Membantu simbah
dan bersiap berangkat sekolah.
Menyusuri jalan setapak pagi ini.
Keseharianku menuju sekolah. Hawa sejuk menemaniku. Oksigen-oksigen masih
banyak berhamburan di setiap nafasku. Kupandang langit lepas. Kutatap awan-awan
putih. Tak hentinya kuucap syukur. Hari ini, aku masih kuat menanti kepulangan
ibu.
Setiap pagi, aku selalu merasa pilu.
Pandanganku selalu berkaca-kaca setiap kulihat gerbang sekolah. Di sana
anak-anak beruntung sedang mencium tangan ibunya. Sedangkan aku? Sosok ibu
tergantikan oleh kasih sayang simbah.
Hari ini kulalui dengan biasa saja.
Kuulang kejadian-kejadian kemarin. Rindu.
Tak
pernah salah memang. Tapi apakah harus? Aku sering menyalahkan keaadaan.
Sungguh ironis.
Selalu sama, setipa pulang sekolah
aku harus menemaniku adikku bermain. Setidaknya hari ini aku juga bisa membantu
simbah karena hari ini aku pulang lebih awal. Sesampainya di rumah, ternyata
hari ini adikku harus ikut posyandu di balai desa. Melihatku, simbah menyuruh
aku mengantar adik ke posyandu. Karena simbah juga harus membuat masakan untuk
dijual ke pasar.
Seperti biasa, adikku selalu suka
bernyanyi. Selama perjalanan kami berdua bernyanyi gembira. Kurasakan
kegembiraan yang begitu hebat. Di saat seperti ini kurasakan Tuhan sangat
menyayangiku. Melalui malaikat kecil ini. Melalui jiwa adik kecilku ini.
Selama perjalanan, aku merasa takut.
Aku takut adik menanyakan ibu. Aku takut aku tak bisa menenangkannya. Selama
ini, orang yang paling sakti dalam menenangkan tangisan adik adalah simbah,
sementara simbah berada di rumah.
Sesampainya di balai desa, pandangan
adikku tertuju pada balita-balita lain yang sedang berada di pangkuan ibunya.
Perasaanku semakin kalut. Aku menyadari adikku mulai tumbuh besar. Ia pasti
sudah tahu ia memiliki ibu.
“Aku nggak mau sama Mbak Rini!”
tiba-tiba adikku berteriak menggertak sambil sesekali memukul bahuku.
“Lalu adik mau sama siapa? Sama Simbah?”
ujarku pelan sambil menenanglan perasaanku.
“Aku nggak mau sama Simbah! Aku
maunya sama Ibu!” adikku terus-terusan menolak bersamaku dan menginginkan sosok
ibu di sampingnya.
“Tapi
ibu belum pulang Ratih,” tak terasa air mata ini menetes. Inginku menggertaknya
agar diam. Inginku berteriak. Inginku berlari, terus berlari tanpa arah. Aku
menangis. Menahan pilu ini. Ratih terus memukuliku.
Perasaanku bercampur aduk. Inginku
pulang, memanggil simbah. Tapi aku tak bisa meninggalkan adik menangis meronta
di posyandu. Ibu mengapa kau tak pulang? Mengapa kau tak pernah mau tahu
perasaan dan keadaan kami? Aku melakukan perang dingin dengan batin ini.
“Ananda Ratih.” tiba-tiba Bu Bidan
memanggil nama adikku.
“Itu, sudah dipanggil Bu Bidan.
Jangan nangis lagi.” kataku pelan sambil meraih kedua tangannya.
“Aku nggak mau sama mbak! Aku maunya
sama Ibu! “ ia terus meronta. Ia menghempaskan kedua tanganku. Ia seperti orang
kesetanan. Aku kalut. Dalam diam aku terus berusaha untuk menenangkannya.
“Ada apa mbak? “ suara halus itu
mengagetkanku. Ternyata Bu Bidan itu memperhatikan kami sejak tadi. Ia yang
sudah hafal dengan wajah Ratih, berusaha untuk menghentikan tangisan adik
kecilku ini.
“Oh ini bu, Ratih tidak mau sama
saya. Maunya sama ibu. Padahal ibu sedang…”
“Mbak Ratih sudah besar kok nangis?
Kasihan itu mbaknya bingung. Yuk sini sama Bu Bidan. “dengan lembut ia meraih
kedua tangan adikku. Menggendongnya. Seketika itu Ratih mulai tenang. Mungkin
ia merasakan betapa hangatnya pelukan seorang ibu. Matanya berbinar melihat
sosok Bu Bidan.
“Yuk mbak Rini. Adiknya ditemani.
“ajaknya kepadaku. Aku hanya megangguk pelan. Meski adikku sudah diam, tapi
rasanya dadaku masih sesak. Tak pernah salah adikku ingin bersama ibu. Namun,
haruskah ia menahan pahit ketika kenyataannya ibu berada di tempat lain?
Setelah selesai ditimbang dan
mendapat jajan, adikku mulai mau kugendong lagi. Ingin cepat-cepat kubawa
pulang. Aku takut jika ia menangis lagi karena terlalu lama di sini. Aku juga
tak ingin menceritakan hal ini kepada simbah. Aku takut menambah beban
pikirannya. Biar saja kupendam sendiri.
Sesampainya di rumah, simbah
memberitahuku kalau tadi Pak Pos datang mengirim surat. Aku tahu simbah tidak
bisa membaca, jadi ia memberikan surat itu kepadaku. Secercah harapan datang.
Karena selama ini jarang sekali bahkan mungkin tidak pernah Pak Pos datang
menyambangi rumahku.
Kubuka amplop putih bersih itu. Di
pojoknya tertempel sebuah perangko dari Arab Saudi. Apakah ini surat dari ibu?
Mengapa baru sekarang ibu member kabar? Kemana ibu bertahun-tahun ini?
Bagaimana kabarnya? Kapan ia akan kembali? Apakah ia rindu pada kami? Ah,
otakku mulai memberontak. Kuputuskan segera membuka amplop putih ini. Kubacakan
lirih di hadapan simbah.
|
Tak terasa air mata ini menetes. Kutatap mata simbah, matanya berbinar menahan haru. Kupeluk erat tubuh tua simbah. Lalu kuciumi adikku. Terasa sangat bahagia hari ini. Ibu akan pulang. Ibu akan kembali.
***
Saat ini adalah pelajaran terakhir
di sekolah. Tak sabar kuingin pulang. Tak sabar aku ingin menelepon ibu. Meski
harus meminjam milik tetangga, karena simbah tak memiliki telepon. Tet… tet…
Segera kuambil tasku. Segera aku berlari. Segera ingin aku sampai di rumah.
Setelah ganti baju, kugendong Ratih
menuju rumah tetangga. Tanganku bergetar memencet tombol telepon. Bagaimana
suara ibu sekarang? Apakah berbeda? Apakah ibu jadi pulang? Apakah ibu akan
membawakan oleh-oleh untuk aku dan Ratih? Semua pertanyaan memenuhi otakku.
Kurasakan otakku memberontak, tapi kupaksa ia untuk menampung semua
pertanyaanku. Tak kuhiraukan teriakannya. Aku hanya ingin mendengar suara ibu.
Kucoba berkali-kali. Namun tak juga
ada jawaban dari ibu. Aku resah. Apakah nomor yang aku tuju salah? Ah aku sudah
membacanya dengan teliti. Atau ibu yang salah menulis nomor? Ah tidak. Mungkin
ibu sedang bekerja. Atau mungkin di sana sudah malam. Ah otakku semakin
memberontak. Tak kuhiraukan lagi dia. Mungkin besok aku bisa menghubungi ibu
lagi.
***
Setelah satu minggu kucoba
menghubungi ibu, tak kunjung pula ada kabar. Satu minggu ia membiarkan anaknya
penuh dugaan. Seminggu sudah ia membiarkan anaknya hidup dalam kekhawatiran.
Hingga aku putus asa. Kali ini kucoba lagi untuk menghubungi wanita istimewa
dalam hidupku.
“Halo…” terdengar suara lembut dari
ujung sana.
“Halo Ibu, ini Rini.” aku menjawab
dengan sukacita. Itu suara ibu. Itu ibuku. Tak terasa air mata ini menetes. Tak
kuasa kumenahan haru. Terjawab sudah semua pertanyaanku. Terjawab sudah semua
penasaranku. Kuluapkan seluruh rinduku. Kukatakan semua padanya. Kuadukan semua
padanya. Semuanya.
“Sudah dulu ya sayang. Ibu harus
bekerja lagi. Ibu akan segera pulang. Jaga baik-baik adikmu. Bantu simbah juga.
Assalamu’alaikum…” suara lembut itu menutup percakapan ini. Aku hanya menjawab
salam dari sini. Sebuah harapan baru dalam hidupku. Ia memberikan matahari bagi
hidupku. Terima kasih ibu.
***
Malam ini hujan turun sangat lebat.
Aku berdiam diri di kamar. Ratih sudah bermimpi indah dalam dekapan simbah.
“Rini, Rini…Ibumu menelepon.” teriak
Mbak Yem dari luar rumah. Segera kuberlari membelah hujan mala mini. Segera aku
berlari sekencang-kencangnya. Dengan basah kuyup, kuangkat telepon itu.
“Rini, maafkan Ibu. Ibu tidak bisa
pulang dalam waktu dekat. Ibu harus mengurusi surat-surat di sini. Maafkan
Ibu.” jawaban itu ia lontarkan saat aku mengatakan bahwa ia sudah berbicara
denganku. Ia segera menutup telepon itu. Mungkin ia tahu bagaimana perasaanku
di sini.
Aku segera berlari menembus hujan.
Tak kuat rasanya kutahan pilu malam ini. Tangisku pecah saat kulihat simbah.
Kudekap ia. Kupeluk erat. Kuceritakan semua padanya. Malam ini, di saat hujan
memadamkan mentariku. Kami berdua menangis. Hujan malam ini menyaksikan
penantianku. Penantian dua orang gadis kecil. Ibu, aku hanya ingin kau pulang.
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances